Diskusi Capres-Kadin

May 24, 2009 at 17:11 (Indo View) ()

=======================================================================

Visi Ekonomi Capres, akhirnya tertuang dan diuji oleh ratusan anggota Kadin dalam diskusi Capres – Kadin beberapa waktu lalu yang disiarkan oleh Tv One. Sempatkah anda melihat? Konsep diskusi ini dilakukan terutama dengan proses tanya jawab oleh anggota Kadin yang harus dijawab secara langsung, dan sendirian oleh Capres. Kurang lebih 90 menit, masing-masing Capres pada hari yang berbeda, dituntut memaparkan visi ekonomi mereka, dibedah dan dikritisi baik dari sisi visi mereka itu sendiri ataupun mengenai kondisi-kondisi perekonomian yang saat ini terjadi

Dari ketiga Capres itu, kali ini penulis harus mengakui dan memeberikan nilai tambah pada JK terutama. Jika anda sempat membaca review pertama mengenai masing-masing Capres-Cawapres (baca juga: Wacana Indonesia) anda bisa memperhatikan bahwa dari sana, tiap pasangan memiliki kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing, memiliki benefit maupun ketakutan yg berbeda jika mereka terpilih. Sehingga jika kita memberikan penilaian, nilai mereka sebenarnya sama. Tapi dari visi ekonomi yg diasah oleh Kadin beberapa hari yang lalu, jelas JK melampaui nilai dari SBY dan Mega. Berikut alasannya:

Jika penulis berikan penilaian, maka JK mendapatkan 2 poin, SBY 1 poin dan Mega 0 poin, dilihat dari sisi visi ekonomi dan diskusi itu.

JK mampu menyampaikan visi misi nya dengan jelas, lugas, dan realistis dalam pencapaiannya. Tidak hanya dia menjanjikan kesejahteraan dan juga penyelesaian dalam masalah ekonomi, tapi dia juga menyampaikan bagaimana cara mencapai kesejahteraan itu. Tidak hanya menjanjikan, tapi dia juga menunjukkan apa-apa saja yang telah dia perbuat selama dia menjadi Cawapres, dan juga contoh-contoh lain yg telah dan bisa dilakukan

Dari diskusi itu, terlihat jelas juga bahwa JK berhasil meyakinkan anggota-anggota Kadin tersebut untuk bisa optimis dalam menghadapi krisis ini, dan juga membangkitkan kembali optimisme peserta diskusi dan masyarakat dalam melihat potensi-potensi yang dimiliki dan bisa dikembangkan oleh bangsa Indonesia.

Contoh yg sangat telak dipakai oleh JK adalah ketegasannya dalam memaksa pembangunan beberapa bandara tanpa bantuan asing, dan juga ketika dia memaksa pembuatan panser dalam negeri serta refinery minyak (dalam waktu kurang dari 2 bulan). Aksi dan jawaban yang sangat menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin bangsa.

Bagaimana dengan SBY? SBY walaupun menunjukkan jawaban yang berkelas pula, tapi dia terlalu menunjukkan jawabannya dalam bentuk data-data yang ada. Setiap pertanyaan dijawab dengan (kalau saya boleh bilang) puluhan data dalam bentuk persentase. Bagus? Sangat. Dalam artian, SBY berbicara berdasarkan data yang ada. Tapi peserta diskusi diajak untuk percaya (daripada mikir atau mempertanyakan, sedikit plesetan jawa) dengan data-data yang SBY miliki. Padahal penulis kira cukup tidak mungkin seorang presiden bisa menghapal data negara sampai ke tingkat persentase dan jenis data seperti itu (kecuali mungkin SBY sudah belajar ke master Joe Sandy mengenai kekuatan konsentrasi :p).

Kesimpulannya? SBY is good, memiliki data yang lengkap, tapi dalam pencapaian tujuannya, masih kurang membumi (terlalu dipenuhi dengan jawaban data-data yang belum tentu juga bisa direalisasikan).

Bagaimana dengan Mega? Kemunculannya cukup mengundang tawa di awal. Kenapa? Mega adalah satu-satunya Capres yang mengajak Cawapresnya dan beberapa team dari PDI-P. Walaupun jelas, Cawapres dan team tersebut, dilarang membantu Mega dalam menjawab, tapi apakah masih sedemikian tidak percaya diri Ibu Mega untuk berdiskusi secara terbuka? Padahal (mestinya) sudah seharusnya seorang Presiden berani bertindak secara percaya diri. Sedangkan sejauh yang kita tahu, dalam pemilu 2004, Mega dan PDIP sangat menghindari dan meminimalisasi jumlah debat terbuka (terutama antar calon yang lain).

Jawaban-jawaban yang diberikan Mega pun (kalau boleh penulis simpulkan) sangat sedikit omong kosong dan sangat NATO (no action, talk only). Jawaban dia terlalu jauh di atas awang-awang, terlalu menggantungkan cita-cita setinggi langit, menjanjikan hal yang sangat wah bagi peserta, tapi tidak jelas bagaimana dan cara apa yg akan dipakai oleh Mega. Jawaban dia terlalu optimis (dia berusaha menjatuhkan calon lainnya) dengan mentargetkan pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun kedepan bisa mencapai double digit (12%), sementara calon lainnya MAKSIMAL hanya 8%. Dengan tegas dia menjawab, kita harus yakin akan kemampuan kita, jangan menyerah dan dipatok “O, Cuma bisa sekian persen kita”. Optimis? Ya. Tapi apakah dia realistis, mengingat dalam kondisi krisis global ekonomi ini, banyak negara yg menyatakan bisa growth saja sudah untung.

Peserta semakin ragu, ketika Mega menjawab pertanyaan tentang janji 100 harinya, dengan jawaban “Wah, saya belum bisa menjawab, mengingat saya belum terpilih”. Jawaban yang saya yakin pendukung Mega akan mengatakan “Itu rahasia politik, senjata yang tidak boleh disebar luaskan”. Tapi (saya mencoba netral), jawaban Mega malah seakan menyatakan bahwa dia belum siap menjadi Capres, karena dia tidak punya impian mau dibawa ke mana Indonesia ini.

Kekecewaan diskusi Mega ini, berlanjut ketika Prabowo mendapatkan wawancara ekslusif sesudahnya, dan di wawancara itu, Prabowo ditantang oleh salah seorang pengamat, “Saya yakin, Pak Prabowo, kalau dibelah dadanya saat ini, disana akan tertulis saya kecewa dengan jawaban Mega saat itu”. Tantangan yang saya yakin Prabowo cukup cegek (bahasa jawa: tertegun) untuk menjawabnya, karena di satu sisi, semua yakin Prabowo bisa menjawab lebih baik dari Mega, tapi di sisi lain, dia harus melindungi Mega, dengan bertindak satu suara dengan Mega. Prabowo berusaha justifikasi atas jawaban Mega dengan beberapa alasannya (yang agak maksa tentunya). Sampai akhirnya Prabowo ditantang dengan pertanyaan, “Menurut Anda, bagaimana mencapainya?” Dan seperti kuda liar yang dilepaskan dari kandangnya, visi misi yang menakjubkan keluar dari mulut Prabowo, jawaban yang bagi pengamat politik yang menantang dia tadi, sangat wah, seharusnya Prabowo yang tadi maju diskusi.

So, JK score 2, SBY 1, Mega surely 0

=======================================================================

Permalink Leave a Comment

Wacana Indonesia

May 16, 2009 at 19:33 (Indo View) ()

=======================================================================

Siapakah capres cawapres yang anda pilih? Sudahkah anda menentukan pilihan? Bingungkah anda dalam wacana yang berkembang?

Penulis bukanlah seorang aktif dalam politik, berikut juga pandangan penulis dalam wacana berikut. Tapi setidaknya semoga penulis bisa memberikan wacana dalam pandangan penulis sebagai seorang warga Negara untuk memperkaya dan membantu anda dalam mengerti calon pasangan presiden-wakil presiden yang ada.

Semoga pandangan penulis cukup objektif, sehingga membuat anda tertarik untuk membaca, berkomentar dan berdiskusi dari setiap wacana, dan pada akhirnya menentukan serta memberikan suara anda demi Indonesia.

Wacana berikut dibagi menjadi 3, sesuai dengan urutan pendaftaran capres-cawapres di KPU:

1. Jusuf Kalla-Wiranto

2. Mega-Prabowo

3. SBY-Boediono

=======================================================================

Permalink 1 Comment

JK-Wiranto

May 16, 2009 at 19:31 (Indo View) ()

=======================================================================

Golkar, partai yang cukup gencar berlari-lari mencari koalisi, akhirnya menentukan pilihan untuk berjuang mengejar kursi RI-1. Wiranto pun dipilih dari Hanura untuk mendampingi dia. Koalisi inipun yang akhirnya menjadi yang pertama dan tercepat dibandingkan kedua calon yang lain, yang sepertinya hanya bolak balik, ulur mengulur, tawar menawar akan perjanjian politik yang akan dinikmati nantinya.

Perjalanan JK diawali dari entreprenaurship. Inilah yang menjadi nilai utama JK sebagai wapres SBY saat itu. JK dengan kemampuannya, tidak hanya mampu membawa perekonomian Indonesia lebih stabil dan mapan, tapi juga mampu menarik investor untuk menanam modal dengan tanpa ragu di Indonesia. Perekonomian membaik, swasembada meningkat, dan nilai investasi yang dirasakan oleh pebisnis-pebisnis bagaikan angin segar setelah keterpurukan investasi pada jaman Mega.

Bersama SBY, JK telah berhasil membuktikan kemampuan managerialnya untuk membentuk pondasi ekonomi dan investasi yang kuat dan meyakinkan dunia untuk kembali melirik Indonesia dalam hal usaha dan bisnis.

Tapi persahabatan politik tidak pernah abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. JK pun mulai berkembang, terutama dalam hal politik. SBY pun dinilai mendapatkan keuntungan dengan hal-hal yang sebenarnya dilakukan oleh JK dan Golkar. Pencapaian JK dan Golkar di 2004-2009 dan hasil pemilu legislatif 2009 meyakinkan diri mereka untuk maju mengejar kursi presiden. Hal inilah yang akhirnya memutuskan koalisi keduanya.

Perolehan suara yang masih kurang untuk mencalonkan JK sebagai capres pun membuat Golkar harus merapat ke partai lain untuk mencari dukungan. Hanura menjadi titik akhir pencariannya. Wiranto yang sebelumnya juga merupakan partisan partai pohon beringin, yang akhirnya melepaskan diri (mungkin karena namanya cukup lenyap ditelan nama-nama besar tokoh Golkar yang lain) dipilih untuk menemani JK. Dasar militer dan kerakyatan yang diusung Wiranto, dianggap mampu mengimbangi dan melengkapi kemampuan politik dan ekonomi JK (selain tambahan prosentase suara Hanura untuk mengusung calon pasangan ini tentunya).

Wiranto, seorang jendral yang juga lemah lembut layaknya SBY, memberikan nilai yang sama bagi JK (untuk menutupi hilangnya sosok SBY). Partai Hanura yang diusungnya diyakini mampu mengambil hari rakyat akan perekonomian yang menitik beratkan pada rakyat kecil.

Tapi akankah rakyat melupakan kesalahan Golkar dalam orde baru? Sedangkan tokoh-tokoh didalam Golkar itu sendiri dan juga capres cawapresnya sendiri masih merupakan tokoh-tokoh utama yang merupakan antek Golkar pada jaman orba saat itu, yang  pastinya masih menyisakan kebencian dimata rakyat.

Golkar memang sudah mencoba berubah, dan perubahan itu bisa dibuktikan dengan masih eksisnya Golkar di era reformasi ini. Regenerasi mulai muncul di tubuh Golkar (walaupun beberapa masih merupakan tokoh lama), tapi tak bisa dipungkiri, bahwa Golkar juga memiliki kader yang kuat di berbagai aspek kebangsaan. Nama Jusuf Kalla, Surya Paloh, Sultan Hamengku Buwono, merupakan tokoh-tokoh yang masih mempunyai nilai jual di mata masyarakat. Tapi akankah hal itu cukup untuk menutup mata akan rezim Soeharto?

Solusi masalah kebangsaan yang bisa diselesaikan dengan cepat dan tepat merupakan jargon yang dibawa oleh kedua tokoh ini dalam kemampuan mereka ber-entrepreneurship dan ketegasan militer. Ekonomi yang tidak hanya mapan tapi juga meningkat merupakan janji yang mereka bawa. Mampukah pasangan ini meyakinkan anda?

Wacana lainnya? Baca Mega-Prabowo atau SBY-Boediono

Back to Basic?

=======================================================================

Permalink 4 Comments

Mega-Prabowo

May 16, 2009 at 19:28 (Indo View) ()

=======================================================================

Megawati? Masih layakkah dia memimpin bangsa ini?

Prabowo? Masih layakkah dia menjadi tokoh Indonesia, dengan status tersangka HAM pada rezim orba?

Keduanya berkharisma, itu yang pasti. Megawati dengan kharisma Soekarno menunjukkan eksistensi yang bisa dikatakan benar-benar hebat. Perjuangannya yang dimulai dari PDI saat itu, dipenuhi tantangan yang sangat berat dari pemerintahan orde baru. Dikungkung, diancam, bahkan tragedi Kudatuli (Kudeta 27 Juli) menghiasi perjuangan Mega menyuarakan suara rakyat. Tapi Mega tidak menyerah, Mega tidak berhenti, dan Mega tidak takut dalam terus berjuang.

Perjuangan itu pun berbuah manis, walaupun mengisi kekosongan kursi Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mega berhasil menjadi tokoh no 1 di Indonesia saat itu. Kekalahan dia dari SBY-JK di 2004 juga tidak menyurutkan langkahnya untuk kembali berjuang di pemilu 2009 sebagai capres. Tapi masihkah rakyat percaya Mega?

Bung Karno mengatakan, Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah yang pernah diukir oleh Mega sebagai presiden, Mega yang saat itu menjadi tokoh terhebat bangsa, tokoh yang diyakini mampu merubah bangsa ini layaknya Soekarno, ternyata hanya mampu begitu-begitu saja. Kehebatan dan konsistensi perjuangan Mega ternyata tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintahan yang hebat pula. Kharakter wanita dia membuat banyak keputusan pemerintah didasari atas perasaan bukan logika. Pilihan untuk diam dalam menghadapi sesuatu, membuat rakyat meragukan kepemimpinan pemerintahannya.

Sepertinya Mega terlalu mempercayakan kharisma ayahnya dalam perjuangannya. Dan lebih anehnya lagi, walaupun Mega tidak setuju atas otoriter Soeharto saat itu, sepertinya PDI-P sendiri tidak meregenerasikan kepemimpinannya. Puluhan tahun Mega dan PDI-P (PDI ketika orba) berjuang, kursi presiden pernah diduduki, tak ada nama lain yang disebut-sebut akan menggantikan Mega.

Terlepas dari non-regenerasi itu, perjuangan kerakyatan Mega tak perlu diragukan, basis-basis pendukungnya akan siap mati demi Mega, tidak akan sedikit pun merubah pilihan akan Mega.

Basis pendukung yang siap mati juga dimiliki oleh Prabowo, dengan dasar kerakyatan yang sama (wong cilik, petani, pedagang pasar, dll) kharisma Prabowo mulai diperhitungkan. Pidato-pidatonya dalam pemilu legislatif membuat dia sebagai salah satu calon yang paling disegani oleh tokoh politik kebanyakan, bahkan pinangan-pinangan untuk mejadi wapres terutama ditujukan kepada dia. Pidatonya membangkitkan semangat, mengajak masyarakat kembali mempunyai harapan atas Indonesia dan pemimpinnya. Ajakan yang selama ini cukup jarang muncul dari tokoh politik lainnya. Kehebatan inilah yang diyakini mampu mengambil hati swing-voters (mereka yang belum menentukan pilihan) untuk memilih Prabowo.

Tapi, sudah bersihkah Prabowo dalam kasus pelanggaran HAM dalam orde baru? Ataukah masyarakat dipaksa lupa demi kepentingan politik belaka?

Prabowo yang dinilai aktor dalam kerusuhan 1998, dinilai sebagai salah satu pelaku pelanggaran HAM terbesar di abad 20, tidak hanya perusakan materiil, tapi juga pelecehan terhadap suku/ras tertentu. Seharusnya dia diadili, bukan dipilih jadi wapres.

Tentang ini, analisa penulis diberikan dalam hal berikut:

  1. Prabowo sudah menjawab hal itu dalam wawancara ekslusifnya dengan salah satu tv. Penulis menyimpulkan wawancara itu secara gamblang, Prabowo mengatakan: “Saya adalah seorang militer. Saya melakukan apa yang diperintahkan, walaupun mungkin hal itu tidak benar untuk dilakukan. Tapi rezim yang berkuasa saat itu menuntut saya melakukan tugas, apapun itu. Dan saya melakukannya“
  2. Dalam wawancara yang sama pula, Prabowo dengan tegas menyatakan, bahkan korban HAM saya saat itupun sekarang mendukung saya dalam Gerindra.

Terlepas dari kerusuhan yang menuju pada suku/ras tertentu, Prabowo dipercaya Mega untuk mendampinginya. Hal ini yang semoga juga menghilangkan keraguan pemilih untuk memilih Prabowo. Kenapa? Karena sejak orde baru juga, Mega dan PDI (saat itu) lah, satu-satunya diantara 3 partai saat itu yang selalu berjuang demi suku/ras yang pada akhirnya mengalami kekejaman 1998. Jadi dari sudut pandang ini, wacana suku/ras yang mengurangi nilai Prabowo, terhapuskan oleh kharisma Mega.

Mega-Prabowo, kedua pasangan yang memiliki nasionalisme paling tinggi jika dibandingkan pasangan lainnya. Perhatian terhadap rakyat, kelemahlembutan dan tipikal gender wanita Mega, semoga diimbangi dengan ketegasan dan kepemimpinan militer Prabowo, dan membawa Indonesia kembali berjaya dengan kharisma keduanya.

Wacana lainnya? Baca JK-Wiranto atau SBY-Boediono

Back to Basic?

=======================================================================

Permalink 4 Comments

SBY-Boediono

May 16, 2009 at 19:25 (Indo View) ()

=======================================================================

Dari ketiga calon presiden, saat ini SBY dinilai paling mantap sebagai pemimpin Indonesia. Jenderal yang berwibawa dan bersahaja. Ketegasan dan kepemimpinan militer dia, diimbangi dengan figurnya yg sangat santun dalam pembawaannya, bisa dibilang merupakan syarat pemimpin yang diinginkan oleh masyarakat. Dibandingkan dengan pemerintahan Soeharto s/d Megawati, SBY sungguh memberikan perubahan yang berarti. Stabilitas politik dan keamanan tercapai, demokrasi dan suara masyarakt tidak lagi terkungkung, peraturan dijalankan secara tegas, berikut juga pemberantasan korupsi yang bisa dikatakan tidak lagi tebang pilih.

Dengan rekannya JK (saat itu) pertumbuhan ekonomi pun meningkat dengan tajam, pembangunan dan modal usaha digelontorkan dengan penuh kepercayaan baik dari modal pemerintah, swasta, maupun asing. Pasangan yang serasi (SBY-JK), dengan dukungan 2 partai besar saat itu (Demokrat-Golkar) yang mampu dengan cukup telak mengalahkan Mega-Hasyim di pemilu 2004. Pasangan yang mampu memberikan stabilitas lengkap pada setiap aspek kenegaraan. Poleksosbudhankam. Politik (dicapai dengan bertemunya 2 partai besar Demokrat-Golkar), Ekonomi dan Sosial (entreprenaur JK yang tidak perlu diragukan), Budaya (aspek sekunder), serta Pertahanan dan Keamanan (background militer SBY).

Sayangnya kepentingan politik yang abadi, membuat 2 pasangan ini harus berpisah di pemilu 2009. Demokrat (walaupun kehilangan dukungan dari Golkar) yang mendapatkan dukungan besar dari PKS, PKB, PPP, PAN dan + 17 partai kecil lainnya (total persentase suara 49,17% dan persentase legislatif 56,07%, kedua nilai yang menakjubkan), sepertinya tidak menemui keraguan untuk memenangkan pemilu presiden dengan telak (bahkan mungkin cukup dengan 1 putaran). Tapi dengan 21 partai pendukung, siapakah yang layak mendampingi SBY? 19 nama diajukan dan SBY diberi mandat dan dipercaya untuk memilih sendiri cawapresnya dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Muncullah nama Boediono.

Boediono, seorang profesional, ekonom, pengajar, dan lebih aneh lagi non-politicians, mengejutkan Indonesia (terutama 21 partai pendukung). Dari 19 nama yang diajukan partai-partai tersebut, SBY lebih memilih seorang yang non simpatisan partai. Tanda tanya diajukan, keberatan disampaikan, kritik dilemparkan, bahkan ancaman mencabut dukungan diberikan (dari partai besar pemenang pemilu). Tapi SBY tidak bergeming. Sampai pada akhirnya SBY dan Demokrat berhasil meyakinkan pilihannya kepada partai-partai pendukungnya.

Kenapa harus Boediono? Penulis mencoba memberikan 2 analisa sebagai berikut:

  1. SBY trauma terhadap JK. JK yang walaupun mampu melengkapi kehebatan SBY, tapi JK cukup menjadi musuh dalam selimut pula bagi SBY. Tidak jarang berbagai kebijakan yg diputuskan keduanya saling bertentangan dan saling tidak memperdulikan satu dengan yang lain. Menginjak pemilu legislatif, keduanya saling mengklaim keberhasilan pemerintahan sebagai kesuksesan diri dan partainya sendiri. Puncaknya ditandai dengan hasil Rapimnas Golkar yang menyatakan JK sebagai capres yang akan diajukan, berikut juga dengan bercerainya SBY-JK.
  2. SBY butuh seorang yang ahli ekonomi dalam menggantikan tugas JK. Nama-nama yang diajukan partai pendukung SBY memang sangat kompeten dalam politik, memang sangat menjual (dalam artian tokoh terkenal) dalam pilpres, sangat menguatkan dukungan partai, tapi mampukah mereka memberikan sumbangsih yang sama seperti JK? Bisa jadi, jika SBY salah memilih, keberhasilan ekonomi yang ditunjukkan dalam 2004-2009 tidak lagi akan ada, investor-investor akan meragukan stabilitas ekonomi, bahkan dengan krisis global mungkin juga akan kembali menjatuhkan perekonomian kita. Boediono dianggap mampu untuk mengisi posisi tersebut.

Terlepas dari pandangan umum bahwa Boediono adalah antek IMF yang akan membawa Indonesia menjadi neo-liberalisme (meninggalkan prinsip ekonomi kerakyatan), tapi penulis mencoba memandang dari sisi lain. Ketika deklarasi (walaupun penulis juga men-sayang-kan kefoya-foyaan penyelenggarannya), penulis melihat sosok Bung Hatta dalam diri Boediono. Hatta yang juga tidak terlalu aktif dalam politik, tapi kecerdasan dan kemampuan ekonominya sangat hebat, sangat mampu melengkapi kepemimpinan dan kehebatan politik Bung Karno saat itu.

Bung Hatta yang jarang berbicara (sama seperti Boediono yang cukup gagap dalam pidato deklarasinya) tetap bisa memberikan dan membangun ekonomi bangsa saat itu. Boediono yang memiliki dasar pendidikan yang sama (terbukti dari kemampuannya sebagai Gubernur BI, ekonom dan pengajar pula) diyakini oleh SBY bisa membantu SBY dan Indonesia keluar dari krisis ini dan membawa perekonomian Indonesia maju lebih baik.

Jadi bisakah SBY LANJUTKAN tugasnya tanpa JK?? Mestinya tidak. Yang SBY bisa adalah LANUTAN (lanJutKan – JK). Tapi benarkah dia tidak bisa?? Belum tentu. Pasangan militer-non militer (ekonomi), partisipan politik-non partisipan partai akan mencoba menjawab tantangan tersebut. Semoga Boediono sebagai figur Hatta dalam pemerintahan mampu memberikan value yang dibutuhkan oleh SBY, sehingga SBY Berbudi bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik, terutama dalam stabilitas poleksosbudhankam.

Wacana lainnya? Baca JK-Wiranto atau Mega-Prabowo

Back to Basic?

=======================================================================

Permalink 9 Comments