Bocah Pengamen
Beberapa waktu yang lalu, kembali kunaiki metromini itu. Warna jingganya yang mulai pudar terkadang membuatku berpikir, sudah berapa lama metromini ini bekerja, memutari puluhan trayek tiap harinya. Karat disana sini, membuat tongkat persneling kemudi susah untuk digerakkan oleh sopirnya. Sementara kursi logam yang ada dan sudah berlubang dimakan karat disana-sini juga membuat penumpang duduk dengan tidak nyaman.
Seperti biasa, sekali waktu bocah-bocah berpakaian compang-camping ikut memasukinya secara bergantian, mengamen satu demi satu, mencoba mengetuk hati para penumpangnya dengan muka mereka yang memelas dan suara mereka yang kurang lebih amburadul, muka-muka yang berharap para penumpang metromini itu akan trenyuh dan menyisihkan beberapa recehan untuk mereka. Suatu pemandangan yang bagi aku dan banyak orang yang lain terasa sangat mengganggu, bahkan terkadang benci akan hal itu. Tapi hari itu, anehnya, aku yang biasanya memilih untuk tidak menanggapi salah satupun dari mereka, tertarik melihat satu bocah lelaki ini.
Seperti layaknya pengamen lain, dia masuk berdiri di samping pintu metromini, menyandarkan dirinya pada pintu yang dibiarkan terbuka memang untuk mempercepat masuk-keluarnya penumpang, mencoba untuk mempertahankan posisi dia disana tanpa berpegangan (karena tangannya sibuk memainkan gitar kecil yang tak lagi aduhai bentuknya), agar tak terjatuh dari metromini yang melaju ugal-ugalan.
Sesaat kemudian ada penumpang lain yang mau masuk, seorang lelaki yang cukup dewasa, lelaki ini yang karena melihat kursi-kursi di metromini itu cukup penuh, sepertinya agak malas ketika dia harus berusaha duduk di bagian paling depan metromini yang cukup sulit dijangkau. Akhirnya, dia malah berdiri saja ditengah-tengah lorong metromini itu.
Bocah pengamen tadi, kemudian menatap ke orang ini, dan berkata sesuatu yang samar-samar aku dengar, tetapi kurang lebih dia menunjukkan kursi kosong bagian depan tersebut ke penumpang ini (mungkin tujuan bocah ini agar penumpang ini tidak menutupi aksi mengamen dia dari penumpang yang lainnya), penumpang ini pun akhirnya menurut dan dengan susah payah menerobos ke depan, dia akhirnya pun duduk, dan bocah ini kembali menyanyi dengan suara serak dan iringan gitarnya yang hampir tidak bernada.
Dan sekilas aku melihat mata bocah ini ketika dia berbicara dan bernyanyi, aku hanya bisa tertegun diam. Tertegun dan termenung, karena yang pada mata bocah berumur kira-kira 7 tahunan ini, aku tidak melihat mata seorang bocah berumur 7 tahun.
Yang kulihat adalah mata seseorang yang sudah berumur kira-kira setengah abad (hampir seusia ayahku), masih berjuang mencari nafkah dalam kelemahan dirinya. Mata seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak hanya kenyang makan asam garam, tapi juga pahitnya kehidupan yang harus dilalui.
Aku melihat mata seseorang yang saat dia menyanyi, bukan syair ataupun nada yang dia pikirkan untuk lagukan kemudian, tetapi apa yang sore nanti keluarganya akan makan, tanpa memikirkan bahwa diapun sebenarnya juga perlu (setidaknya) segelas air untuk meredakan suaranya yang sudah serak.
Aku melihat mata seorang ayah yang sebenarnya tak tega anaknya tak sekolah, tak tega menyuruh anaknya untuk ikut mengamen, tapi tak ada pilihan lain yang bisa dia pilih.
Aku sadar kemudian, bahwa bocah berumur 7 tahun ini, jauh lebih dewasa dari kebanyakan orang yang kutemui, orang-orang yang terutama mereka yang menempuh SMA ataupun mahasiswa-mahasiswi yang dengan lantangnya mengakui ke-sok dewasaan mereka, yang seenaknya melakukan perbuatan-perbuatan goblok dan merugikan orang lain ataupun diri dan keluarga mereka , dengan menjunjung jargon “aku dah gede, dah dewasa, dah bisa mikir sendiri”, padahal mereka masihlah anak bawang dengan pola pikir tempe.
Dan aku hanya bisa terdiam, membayangkan apa yang mungkin selanjutnya dia pikirkan, melihat dia menuruni metromini itu dan beralih ke metromini yang lain, dalam teriknya matahari, mengumpulkan lempengan-lempengan logam ber-angka.
Personal Help
=======================================================================
Do you want to improve yourself but you dont know how?
Do you have problems, and nobody can help you?
Do you need friends to help you solve it?
Contact Us NOW.
on chat : sonix_cnc@yahoo.com or sonix_cnc@hotmail.com
or email : sonix_cnc@yahoo.com
(all profile, information, and problems will be kept strictly confidential)
Dont Think !! Its FREE !! Just contact us.
Two heads are better than one.
=======================================================================
Cities I’ve Visited
=======================================================================
updated per July 2016,
A. Sumatera
Medan, Sibolga, Rantau Prapat, Danau Toba, Brastagi, Pekanbaru, Perawang,
Kerinci, Padang, Sawahlunto, Lampung, Batam, Bintan, Belitung
B. Jawa
Cilegon, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Cikarang, Karawang,
Semarang, Kudus, Jepara, Salatiga, Jogjakarta, Solo,
Surabaya, Malang, Probolinggo (Paiton)
C. Kalimantan
Balikpapan, Samarinda, Bontang, Sangatta, Bunyu, Palangkaraya, Sampit,
Banjarmasin, Tanjung
D. Sulawesi
Makassar, Menado
E. Papua
None
F. Others
G. Country
Singapore (Singapore), Malaysia (Kuala Lumpur), Thailand (Bangkok, Krabi),
Brazil (Rio de Janeiro, Sao Paulo), China (Shanghai, Beijing, Xiamen),
Hongkong, USA (Los Angeles, Las Vegas, Chicago, Cleveland, New York),
UK (London, Wiltshire, Liverpool), UAE (Dubai), Qatar (Doha)
=======================================================================
Death
=======================================================================
Tring to hold on.. Trying to survive..
It has eatin me to crumble.. Weaken me to my lowest level of immunity.. Broken my spirit down..
Part 1. Spontaneous and unfelt.
Part 2. One nite with an old pal
Part 3. Three weird days
Part 4. Cleaning up the pipe
Part 5. Terrible head smash
It getting all over me.. Killing me.. Thicker.. Harder.. Stronger than before.. Chain in my hand is bundling me to the ground..
Argghhhh..
=======================================================================