Mengapa kita harus golput?

April 4, 2014 at 01:19 (Indo View) (, )

=======================================================================

Mengapa kita harus Golput? Kalimat singkat yang hanya terdiri dari beberapa kata tersebut sejatinya bisa dibaca dengan menggunakan beberapa nada kata. Nada tanya, untuk menggugah kesadaran Anda ikut memilih. Nada baca menjelaskan, untuk Anda yang “search” pembenaran pribadi untuk tetap Golput. Atau nada nada apapun yang terpikirkan ketika Anda mencoba membaca berulang-ulang judul ini.

Saya, akan memilih untuk menggunakan nada yang memancing Anda dan semoga menggugah kesadaran Anda untuk memilih.

Alasan pertama: Pernahkah Anda memikirkan kenapa tidak semua orang diijinkan untuk ikut berperan dalam Pemilu sebagai pemilik suara? Kenapakah hak untuk memilih tersebut hanya diserahkan/diberikan kepada mereka-mereka yang hanya telah memiliki usia lebih dari 17 tahun? Alasannya cukup klise adalah karena usia tersebut merupakan batas dimana seseorang (secara pandangan umum ataupun akademis/psikologis telah dianggap cukup dewasa untuk berperan serta dalam menentukan sesuatu (dalam hal ini ikut menentukan arahan bangsa dan negara dalam 5 tahun kedepan).

Sering kita mendengar terutama dari olah kata para remaja khususnya ABG (mereka yang menginjak usia SMP dan awal SMU) bahwa remaja-remaja ini selalu ingin dianggap sudah dewasa, sudah gede, sudah berhak punya pemikiran sendiri. Ingin pacaran, ingin beli HP baru, ingin pulang malam ketika nongkrong bersama teman, ingin liburan ke luar kota/negeri, ingin merokok, ingin mencoba minum alkohol. Akan tetapi ketika keinginan mereka tersebut dimentahkan oleh kedua orang tua mereka (terlepas apapun alasannya), remaja-remaja ini akan kemudian marah, ngambek, seringkali kemudian mengeluarkan argumen “Aku ini sudah dewasa, kenapa masih ga boleh aja; Aku ini sudah gede, jangan diatur-atur; Aku sudah bukan anak kecil lagi dan ga mau diperlakukan sebagai anak kecil”. Mereka menolak untuk dianggap belum dewasa.

Akan tetapi lucunya, ketika mereka beranjak dalam usia dan diberikan kesempatan untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, mereka lebih memilih untuk Golput, lebih memilih untuk tidak menggunakan hak “kedewasaan” mereka dengan benar. Suatu hal yang dalam kesimpulan saya menjadi kontradiktif dengan argumen mereka sebelumnya, ketika berbicara mengenai keinginan pribadi dan keinginan untuk dianggap sebagai seorang yang dewasa. Benarkah mereka sudah dewasa? Pertanyaan ini saya kembalikan ke Anda masing-masing.

Di lain sisi, anggaplah mereka sudah dewasa, mereka mau memberikan suaranya, akan tetapi mereka lelah karena suara yang telah mereka berikan hanya dibalas oleh janji-janji palsu para politikus

(ini dengan catatan sudah pernah “vote” lho ya, untuk Anda yang masih berusia dibawah 21 tahun, dan atau berarti belum pernah “vote” 5 tahun yang lalu tidak boleh menggunakan alasan ini, toh Anda tidak memilih sebelumnya, sehingga politikus busuk yang ada sekarang juga bisa jadi karena Anda tidak memakai suara Anda, memilih politikus yang setidaknya lebih baik daripada yang busuk tadi)

Semua politikus sama saja, sama busuknya, sama palsunya, sama korupnya. Tidak ada gunanya ikut memilih, hasilnya akan sama saja. Benarkah sama saja?

Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang dengan mudah bisa menjawab TIDAK, hasilnya tidak akan sama.

Hal yang pertama, kalau Anda golput dengan tidak datang ke Tempat Pemilihan Suara (TPS), maka memang betul akan banyak politikus/partai korup yang bisa meng-hijack surat suara Anda yang kosong ataupun tidak dipakai dan digunakan untuk lumbung suara tambahan bagi mereka. 1-0 nilainya untuk kemenangan politikus/partai “evil”

Hal yang kedua adalah sebagaimana pepatah yang banyak sekali kita temui di berbagai negara ataupun bahasa, “Evil can only win, when goodness refuse to do anything”, “Kejahatan hanya bisa menang, ketika orang-orang baik memilih untuk tidak melakukan apa-apa”, dan banyak sekali ungkapan yang lainnya.

You have to choose, choose among the best, and if you cannot find one, choose among the bad option, as long as it is not the worst/the most evil win. Sekian partai, sekian caleg, Anda mau sampaikan 90% dari mereka korup pun, saya tidak akan menyanggah. Tapi setidaknya 10% saja pasti ada yang masih baik. Dukung mereka, agar bukan 90% ini yang menang.

Jika contoh tersebut masih kurang klimaks bagi Anda, 99% partai/caleg korup pun masih ada 1% dari mereka yang benar berjuang untuk rakyat. Search them, google them, know them, identify them. Indonesia sudah jauh lebih berkembang dibandingkan Orde Baru dahulu dimana kita dipaksa memilih kucing dalam karung. Anda dalam jaman yang penuh teknologi ini, tentunya bisa melihat track-record dari masing-masing kandidat partai/caleg, Anda yang seringkali tidak mau dikatakan “gaptek” harus mau berusaha mengenal mereka melalui segala teknologi yang sehari-harinya Anda gunakan untuk posting status ataupun foto “selfie”. Kenapa? Karena ketika 1% orang terpilih ini bisa masuk ke pemerintahan/parlemen, hal itu akan jauh lebih baik daripada 0% yang ada di pemerintahan/parlemen karena Anda menolak menggunakan pilihan dan waktu Anda untuk mengenali orang-orang baik ini. Menyalakan sebatang lilin di tengah kegelapan, selalu lebih baik dibandingkan hanya bisa mengutuk kegelapan tersebut.

Hal ketiga adalah, sedikit anekdot mengenai the great, genious, and smart Albert Einstein, yang saya yakin hampir kesemua dari Anda (semoga) pernah mendengarnya, terlepas ini merupakah kisah nyata ataupun hanya sebuah mitos yang dibesar-besarkan. Suatu cerita ketika Einstein kuliah dan mendebat profesornya ketika profesor ini memberikan penjelasan tentang “Panas-Dingin”, “Terang-Gelap”, “Kebaikan-Kejahatan”. Ketika profesor ini menyampaikan bahwa akan tetap ada Dingin, tetap ada Gelap, dan tetap ada Kejahatan (tanpa Tuhan), Einstein memberikan penjelasan yang sangat ilmiah bahwa suatu keadaan “Dingin” hanyalah suatu keadaan dimana “Kalor/Panas” tidak ada. Kita hanya bisa mengukur tingkat kalor/panas (baik plus ataupun minus), bukan tingkat dingin. “Gelap” juga tidak bisa diukur, gelap hanya bisa dinyatakan dalam kondisi dimana “terang” itu tidak ada. Intensitas cahayalah yang bisa diukur, bukan intensitas kegelapan. Dan suatu “Kejahatan”, suatu korupsi, juga bukan karena suatu unsur yang jahat, tapi karena tidak adanya “Kebaikan” disana.

Jangan biarkan “Dingin”, “Gelap”, ataupun “Kejahatan” menang. Gunakan hak pilih Anda. Kejar Daftar Pemilih Tetap (DPT) Anda. Pilih dari semua yang ada, orang-orang baik yang masih tersisa. Susah memang, saya tidak mengatakan ini gampang, terlalu sedikit mungkin partai yang memiliki track record tanpa cela, terlalu sedikit mungkin orang baik yang ada untuk dipilih, tapi sebagaimana saya selalu katakan: “SUSAH, BUKAN BERARTI TIDAK BISA”

Demi Indonesia yang lebih baik, Demi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

=======================================================================

4 April 2014, beberapa hari menjelang Pemilu 9 April 2014 dimana sejarah akan dicatat selamanya.

Sonix Arauna.

=======================================================================

Permalink 1 Comment